Wednesday, September 30, 2015

Kopi dan Kekuatan Waktu

"Permisi mba, mas..kopi nya" suara server itu memecah kesunyian yang merayap diantara kami. Sembari menurunkan double espresso pesanannya dan Kopi Duren pesananku, untuk pertama kalinya semenjak kami tiba di Cafe ini, matanya berani menatap mataku. Aku membalas balik menatapnya. Serverpun berlalu seraya membawa nampannya setelah sebelumnya menyilahkan kami tuk menikmati pesanan kami.
"Kenapa?" Tanyaku akhirnya karena jengah ditatap seperti itu.
"Kamu yakin jadi pergi?" Tanyanya untuk kesekian kali. Aku menarik nafas malas.
"Harus berapa kali lagi ini kita bahas?"
"Aku cuma mau tanya keyakinan kamu" jawabnya ringan. Tapi tidak dengan tatapannya yg seolah mengharapkan aku berkata bahwa aku tidak yakin untuk pergi.
"Hei, disana itu ada orangtuaku. Dan kamu masih tanya aku yakin atau tidak? Yang pantas untuk kamu tanya yakin atau ga itu kalau aku bilang aku bakal tetap stay disini. Digerogoti sakitku."
"Tapi kamu tau kan disini ada aku?"
Mendengar pertanyaannya aku langsung membetulkan posisi dudukku.
"Sek, kamu bisa jawab ga, kamu itu siapaku sih?"
Ia diam. Namun matanya tetap menatapku. Tak lepas. Seolah ia ingin mentransfer informasi bahwa seharusnya aku tau dia siapa bagiku. Tapi aku memasang tampang tak mengerti sama sekali.
"Harus aku jawab?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan baliknya. Aneh. Seolah olah selama ini ia sudah sering mengatakan padaku bahwa ia 'seseorang yang berarti bagiku' padahal nyatanya, kata kata itu tak pernah keluar dari mulutnya.
Kami diam lagi sejenak. Menikmati alunan lagu Rahasia-Payung Teduh yg disajikan oleh Kafe ini.
"Aku pikir aku berarti buat kamu"
"Ya, kamu sangat berarti bagiku. Tp aku belum tau mau menempatkan kamu seperti apa. Posisi kita sulit"
"Tapi tiap kali aku ajak kamu ngomong serius, kamu selalu menghindar. Bilang belum siap"
"Iya, memang. Kamu tau kan kondisi aku saat ini"
"Trus aku harus apa kalau kamu selalu begitu? AKu pikir dengan seperti ini, sudah cukup untukmu"
Aku menarik nafas panjang. Berfikir. Ya, saat ini aku lah yang sulit tuk dimengerti. Beban pikiranku begitu banyak. ada hal hal yg selalu berhasil mengunci jiwaku. Seperti mati rasa. Dihujani dan ditumpahkan beribu kasih namun aku diam mematung.
"Kan aku pernah bilang ke kamu, kamu bebas cari yg lain diluar sana. Aku g minta kamu untuk tetap stay nungguin aku"
"Itu selalu jadi alasanmu. Itu adalah kalimat yg paling malas untuk ku dengar" ujarnya lelah sembari melempar punggungnya pada sandaran sofa dan melempar tatapan ke sembarang arah.
"Hey, aku gak pernah minta kamu untuk selalu paham mauku. Maksudku. Aku sadar aku orang yg sulit dimengerti. Aku berfikir mungkin lebih baik aku fokus pada apa sakitku yg sebenarnya, lalu fokus pada ketertinggalan ku. Kamu tau banget aku mau jd apa kan? Mungkin sekarang kita lebih baik begini saja. Aku juga mau kamu fokus sama skripsimu. Sembari kamu jalan, siapa tau ada hati lain yg mencoba masuk. Aku kan ga tau. Kalau memang kata-katamu selama ini nyata adanya, kamu pasti bakal nunggu. Waktu yg bakal menjawab apa rasa itu kian membesar atau semakin surut lalu hilang"
Ia menatapku sekali lagi. Menyeruput kopinya untuk terakhir kali, lalu bangkit berdiri. Memberikan tangannya padaku.
"Ya, Waktu yang akan menjawab. Ayo pulang. Udah malam" ajaknya dengan wajah lucu khasnya. Aku tertawa sambil memberikan tanganku padanya.

Terimakasih karena tidak memaksaku.
Terimakasih karena kau percayakan semua pada kekuatan sang waktu.

Teruntuk seseorang disana, yg selalu menemaniku menikmati setiap tegukan kopi hangatku, Selamat Hari Kopi Nasional

Tuesday, September 29, 2015

Jogjakarta


Ada selaksa makna pada setiap tapak kupijakkan kakiku pada tanahnya.
Ada sebendung memori yang jika kuulas satu persatu, airmataku jatuh menambah bendungan.
Ada rasa ingin selalu kembali, meskipun aku belum pergi.
Seperti ada yang senantiasa menungguku di kota ini.
Ya, hangatmu.

Dimana aku belajar meredam fantasiku dan melihat lurus pada realita.
Dimana aku belajar bahwa tak selamanya yg dikata bibir begitu mudah.
Dimana aku belajar menjaring pertemanan sederhana namun penuh makna.
Didirimu. Jogjakarta.

Maaf, jika aku harus pulang dulu.
Bukan ku tak percaya hangatmu tak mampu menyembuhkanku.
Tapi jauh disana, ada hangat yg menungguku lebih lama.
Ada hangat yg merindukanku untuk pulang.

Jogja, aku berjanji aku akan kembali.
Dengan atau tanpa sakit ini.
Aku berjanji akan menuntaskan niat awalku datang pada hangatmu.
Meninggalkan hangat peluk ibu bapa ku demi merengkuh hangatmu.
Meninggalkan cinta mereka demi bercinta denganmu.

Tunggu aku pulang, Jogja.
Dengan atau tanpa raga.