Kalaulah boleh aku memilih, aku ingin memutar waktu sedikit kebelakang. Betapa bodohnya dulu kutanggapi omongan orangtuamu yang membuat aku berhutang ucap semakin banyak. Betapa semakin hari semakin aku tertekan karena jawabanku sendiri.
Kalaulah tau kau sebajingan ini, takkan mau kuturuti impi orangtuamu. Kalaulah mereka tau betapa aku ingin lepas, pasti mereka takkan memaksa. Sayangnya aku terlalu mencintai orangtuamu. Betapa ketika kita sudahi ini semua, akan banyak hati yang kecewa
Berapa lama lagi kan kita mainkan drama ini? Berapa banyak skenario lagi yang harus aku lakoni? Berpura-pura mencintai itu sakit. Memainkan peran sebagai calon menantu yang baik itu sulit. Tak pernah mau taukah kau bahwa aku tertekan?
Pagi ini ada satu lagi bukti kepengecutanmu. Setelah malam tadi segala makian saling terlontar, setelahnya kau datangkan kedua orangtuamu kerumah. Membujukku. Menyampaikan permintaan maafmu. Memintaku untuk kembali.
Ketahuilah kawan, bukannya aku luluh, aku semakin jijik padamu. Bayangkan jika aku tetap nekat melepas lajang denganmu, berapa banyak pihak yang kau libatkan dalam setiap pertengkaran? Harus berapa banyak orang kau biarkan tau tentang urusan rumahtanggamu sendiri?
Sungguh, kebiadabanmu itu tak termaafkan. Aku yang kau pandang hina ini ingin kau hinakan lagi? Kau anggap aku serupa seperti perempuan pemuas dosamu? Oh, kawan. Aku bukan sebodoh yang kau kira. Aku takkan sudi sampai kapanpun
Jika kau anggap aku pendosa, jangan cobai aku dengan menenggelamkan dirimu ikut berdosa bersamaku, seolah-olah aku lah induk dari segala kebiadaban.
Jangan.
No comments:
Post a Comment