Saturday, February 27, 2016

Surat dari Siti Nurbaya Modern Macam Aku

Melihat judul diatas pun aku sudah jengah. Aku tau kau pun pasti begitu. Berpuluh-puluh kali sudah kita berdebat. Mempeributkan hal yang itu-itu saja. Berpuluh-puluh kali itu pula aku hendak beranjak, segitu kali jugalah kau bergegas menahan.

Tidak adakah penat dihatimu? Sekali waktu emosi memenuhi kepalamu, lalu kau sentil aku. Kau ungkit masa lalu burukku. Kau buka luka lamaku. Kau buat aku makin benci pada kaummu. Kau buat aku makin jatuh, makin dalam.

Ya, kau sudah tau itu. Lalu mengapa memintaku bertahan? Lalu mengapa selalu merengek tiap kuutarakan niatku ingin pergi? Sementara setiap kata-katamu selalu tepat menohok jantungku, yang lalu kau tutupi dengan berlutut meminta ribuan maaf?

Asyik kah kau rasa bisa membuat aku menitikkan airmata? Oh, jangan kira aku menangisimu. Mencintaimu saja pun aku belum. Aku menangisi diriku. Mengapa sebegitu harusnya aku hidup dengan kaummu kelak. Sementara akar pahitku masih menancap mantap didasar hatiku?

Kali ini aku benar-benar sudah jengah. Segampang kau bilang cinta, segampang itu pula kau kan terus mengingat. Hey, bahkan aku tak pernah meminta kau hadir. Aku bahkan jujur supaya kau menjauh. Ingat, sudah berapa kali kubukakan pintu hatiku agar kau segera keluar? Sadarlah. Kau yang minta menetap.

Aku bahkan sudah menawarkan, ada banyak pintu hati lain yang menunggu tuk kau ketuk. Setiap saat kau boleh saja melenggang pergi meninggalkan aku. Bahkan aku sudah bersumpah kelak jika kau pergi takkan sudi kuiiringi airmata. Tapi memang kepalamu kelewat batu, yang lalu diserasikan oleh mulut setajam belatimu.

Perempuan ini hanya ingin hidup. Perempuan ini akan selalu mengingat dosanya dulu tanpa perlu kau ingatkan oleh bibirmu yang lebih berdosa itu. Jangan anggap aku menganggapmu. Aku begini lebih karena menghormatimu. Aku begini lebih karena orangtuamu.

Melihat tingkahmu itu saja bisa membuat aku meratapi nasib 'Ya Semesta, apa tidak ada lelaki lebih biadab lagi untuk kau hadirkan (lagi) dalam hidupku? Mengapa pengecut semua yang datang? Mengapa sejenis lelaki modal sejuta omong yang selalu hadir? Apa cuma tinggal ini stoknya?'

Aku sudah terlalu sakit. Akan harapanku yang masih harus tertunda, akan kebodohanku dimasa lalu, akan hadirnya dirimu yang tidak begitu penting namun melelahkan hatiku. Jadi tolong, jangan tambahi tingkahmu. Kau diam dan tak bertingkah, dengan atau tanpa mengikuti alur-alur ini saja, sudah sangat membantuku.

Bayangkan jika kemudian kau semakin melunjak, jangan salahkan aku kalau pisau dapur tiba-tiba menancap tepat di atas kepalamu.



No comments:

Post a Comment