Friday, April 8, 2016

Sahabatku, Karma Tak Kemana-mana

Ada rasa marah dan emosi yang teraduk-aduk ketika mengetahui kejadian demi kejadian apa yang ia alami. Aku tak perlu menyebutkan namanya. Yang pasti ia sahabatku. Selama ini hanya seutas senyum dan tawa bergulir dari bibirnya tiap saban sore kuhubungi dirinya yang kini sudah jauh dari pendar penglihatanku. Selayaknya seorang istri yang patuh pada suami, sahabatku pergi mengikut suaminya. Keponakanku? Ahh, kelak dia akan tau tantenya ini sangat sayang padanya.
Semakin lama semakin palsu kudengar tawanya. Ada nada letih bergulir setiap kutanya kabarnya yang selalu ia jawab 'baik-baik saja'. Ada kekhawatiran di hati namun enggan bertanya karena ketakutanku lebih besar dibanding khawatirku. Seandainya memang ia punya masalah, bisakah aku membantunya?
Setiap sehabis saling bertukar kabar via suara, selalu ada genangan airmata menumpuk di pulupuk mata. Antara rindu atau feeling tak menentu mengenai bagaimana sebenarnya kabarnya disana. setiap perlahan kudesak, akhirnya pada suatu malam ia mengaku padaku. Pengakuan yang sontak menaikkan pitamku. Antara emosi dan pasrah karena tak dapat melakukan apapun selain menangis. Aku tak kuat membayangkan jika aku lah yang ada diposisinya sekarang. Tak kuhiraukan lagi aku sedang dimana, dan berapa orang yang ku buat cemas karena melihatku berbagi kabar via suara seraya menangis. Hanya itu yang mampu kubuat. Selebihnya merajut doa dalam diamku, berharap si EmpuNYA hidup sudi menoleh sedikit saja pada sahabatku.
Tetapi sayang, Tuhan tak membiarkanmu menjalani semuanya sendiri. Sementara si pemeran utama masalahmu ini bebas berkeliaran. Entah diliputi rasa bersalah ataupun tidak, saat itu kita belum tau. Tak lama semenjak kejadian pengakuanmu itu, Tuhan menjamah doa kita. Dia yang mungkin sudah terlalu pesimis tuk kamu harapkan, hadir kembali. Hadir dengan sejuta sesal akan sumpah serapah yang pernah dengan dendamnya kamu lontarkan padanya. Hadir dengan kenyataan bahwa sepanjang sepeninggal dirimu, ia menyesal bukan kepalang. Ada sebendung keinginan sujud dikakimu menjuntai berpuluhribu maaf. Tapi aku tau kamu sayang, seberapa banyakpun sumpah serapahmu itu, jauh dalam lubuk hatimu masih ada cinta paling tulus kau sisakan untuknya kelak jika ia hadir kembali. Ya, kini ia hadir kembali.
Nah, mengenai yang sekarang telah menjadi pasangan hidupmu, yang tega menyiksamu. Oh, bukan hanya dirinya melainkan seluruh keluarga besarnya turut melukai dirimu dan keponakanku, silahkan tanya Tuhan sayang. Sebaik-baiknya tindakan apa yang harus engkau lakukan. Melangkahlah dengan terlebih dahulu bertanya pada Tuhan. Jangan ulangi gegabah yang sama. Aku, selalu ada dan turut menyemangatimu apapun keputusanmu. Segala yang membuatmu bahagia, turut menjadi kebahagiaanku juga.
Tidak pernah ada yang kebetulan dalam hidup ini, sayang. Semua telah digariskan seturut kehendak sang skenario kehidupan. Pahamilah segala sesuatunya sebagai pilihan. Melangkahlah sesuai pertimbangan. Ia dihadirkan Tuhan kembali ke hidupmu bukanlah juga sebuah kebetulan. Tuhan ijinkan bertahun tahun ia menikmati karma nya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia dihadapkan kembali pada kenyataan bahwa anaknya sudah tumbuh besar, sementara beribu maaf rasanya tak cukup mengganti momen dimana seharusnya ia menyaksikan tumbuh kembang anaknya, mencurahkan kasih sayangnya sebagai seorang bapak yang utuh. Sebagai seorang suami yang bertanggungjawab.
Kelak ia akan berterimakasih pada sang Karma, pada lontaran sumpah serapahmu, karena berkat itu semua akhirnya ia merasakan cambukan pembalasan. Bukan dari tanganmu, sayang. Tapi dari tangan Sang Takdir.

Berbahagialah selalu, sayang. Doaku selalu mengiringi setiap langkah yang kau pilih.
Tuhan Yesus menyertaimu dan keponakanku. ❤

-aisp

No comments:

Post a Comment